![]() |
Ilustrasi Banjir Bandang. |
Tulisan ini lahir dari beragam traffic dialog yang terjadi di warung kopi, gardu, gang-gang sempit kota hingga pondok-pondok persawahan desa. Selain itu, tulisan ini juga lahir dari potret-potret kecil; kepasrahan, kesedihan, kejengkelan, kemarahan, dsb, yang penulis dapatkan ketika sinau sana-sini. Dialog dan potret-potret yang dimaksud di atas ialah tentang banjir bandang yang terjadi di Lumajang belakangan ini. Bagaimana pun, banjir bandang yang terlanjur dikategorikan sebagai bencana alam memang patut disikapi dengan kepasrahan dan kesedihan.
Nampaknya hari-hari ini kita perlu menyikapi banjir bandang yang terjadi belakangan dengan kejengkelan dan kemarahan. Karena bayangkan, bagaimana jika kita yang tinggal di daerah yang tidak terdampak banjir bandang suatu saat juga mengalami dampak demikian? Silakan anda membayangkan hal itu dengan cermat dan serius. Penulis tidak bermaksud mengajak anda untuk overthinking, atau bahkan menanamkan ketakutan. Namun ‘upaya membayangkan’ yang dimaksud oleh penulis agaknya lebih efektif untuk mempersiapkan diri sebagai manusia Lumajang yang berdiri kokoh di atas pengetahuan masing-masing. Daripada sibuk memperbincangkan persoalan siapa yang akan lebih pantas memimpin Lumajang kedepan; kontestasi pilbup atau pilkada yang hendak diselenggarkan pada tahun ini. Kenapa demikian? Karena menurut Aristoteles, transmisi keadilan hanya dapat dilakukan oleh masing-masing subjek, bukan dilakukan oleh subjek di luar diri kita, apalagi menggantungkan ide keadilan pada subjek tertentu yang hari ini sedang sama-sama ‘dibranding’ dengan narasi A, B, C, D, dst.
Penulis tidak menjadikan ‘pem-branding-an’ subjek tertentu sebagai persoalan; kadarnya tidak lebih penting daripada membicarakan ide dan persoalan keadilan, karena ‘branding’ bagi penulis merupakan hal yang ‘murah’ dan dapat memunculkan alienasi antara diri kita dengan dunia kita. Mengapa demikian? Jawabannya tentu sangat sederhana, ‘murah’ karena ia digemari dan dikerubungi oleh banyak orang. Dan kata alienasi, pertama kali digunakan oleh Marx untuk menunjukkan kondisi keterasingan subjek dengan dunia yang ia ciptakan sendiri; awalnya kata ini digunakan dalam domain analisis ekonomi, namun seiring berjalannya waktu kata ini mengalami pembengkakan ontologis yang akhirnya dapat digunakan untuk menganalisis apa saja. Dengan memaksimalkan kegemaran dan berkerubung untuk ‘branding’ subjek tertentu, akhirnya kita lupa untuk mengoperasionalkan pengetahuan yang sudah didapatkan di ruang-ruang formal atau non-formal untuk membicarakan hal yang lebih krusial dibanding ‘branding’. Kita teralienasi dengan hidup kita karena terlalu sibuk membranding.
Coba bayangkan dengan cermat, andai ada lima manusia yang mempunyai kapasitas keilmuan: sebagai contoh agama, filsafat, ekologi, hukum dan sosiologi, duduk membicarakan banjir bandang yang terjadi di Lumajang dan memproduksi solusi penanggulangan atau hanya sekadar memproduksi narasi alternatif daripada duduk berjam-jam berunding untuk menghasilkan produk ‘branding’ yang hari ini sebenarnya bisa dilakukan oleh Artificial Intelligence (AI). Lantas, bisa kah kita mengatakan jika persoalan banjir bandang di Lumajang adalah hal yang krusial? Apakah kita berani mengatakan jika banjir bandang yang terjadi adalah akibat dari macetnya transmisi keadilan? Atau mampu kah kita mencurigai jika banjir bandang sebenarnya bukan bencana alam, jangan-jangan ia adalah bencana yang diciptakan oleh manusia?
Apakah banjir bandang itu memang bencana
alam?
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) membuat deskripsi singkat dan jenis-jenis bencana di webiste resminya. Sayangnya, banjir bandang dikategorikan ke dalam bencana alam, pendefinisian dan pengkategorian tersebut didasarkan pada Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Penanggulangan Bencana. Apa kah itu normatif? Tentu. Karena ia bersifat normatif, maka kita sangat perlu untuk mengadakan investigasi kritis mengenai banjir bandang yang dimaksud; definisi dan penyebab sebenarnya.
Banjir bandang didefinisikan oleh BNPB sebagai banjir yang datang secara tiba-tiba dengan debit air yang besar akibat terbendungnya jalur atau aliran air yang berada di sungai. Kita harus sedikit fokus pada definisi yang disebutkan, air dengan debit yang besar datang secara tiba-tiba akibat aliran sungai terbendung, atau ‘mampet’ lebih tepatnya. Bisa kah anda mendapatkan poin menarik dari definisi tersebut? Ya. Poin menariknya adalah mengapa aliran sungai bisa terbendung atau mampet? Untuk membantu menjawab, coba sejenak kita melihat ada berapa sungai besar yang memanjang disetiap titik di Lumajang.
Pertama, ada sungai Bondoyudo dengan panjang 32 km; kedua, sungai Besuk Sat; ketiga, sungai Kali Asem; keempat, sungai Mujur; kelima, sungai Pancing; keenam, sungai Rejali. Semua sungai tersebut mengalir dan berakhir di pantai selatan. Mirisnya, penulis hanya mendapatkan data panjang sungai Bondoyudo saja, sungai yang lain tidak ada. Sepertinya memang persoalan sungai-sungai kurang menarik untuk dipelajari oleh masyarakat Lumajang, bahkan sekadar untuk mengupdate ‘profil sungai-sungai Lumajang’. Hal tersebut menunjukkan kalau memang kegemaran masyarakat Lumajang hanya diarahkan kepada updating soal-soal politik elektoral saja. Padahal, jika ingin berbicara mengenai banjir bandang, paling tidak dan paling minimal, updating mengenai sungai-sungai di Lumajang harus dilakukan.
Updating yang dilakukan oleh penulis mengenai sungai-sungai di Lumajang mengalami kebuntuan. Jelas ini menunjukkan kondisi Lumajang yang ‘sebenarnya’ mengenai publikasi informasi. Akibatnya, penulis bersandar pada media informasi yang bukan ‘produk Lumajang’. Berdasarkan Kompas.com dan Mongabay: Situs Berita Lingkungan, banjir bandang yang terjadi di Lumajang dipicu oleh hujan yang intensitasnya sangat tinggi. Daerah yang sangat terdampak merupakan daerah disekitar aliran sungai yang menjadi wadah lahar dari gunung Semeru. Sungai yang dimaksud ialah sungai Regoyo, sungai Mujur dan sungai Glidik. Ketiga sungai ini perannya sangat vital sebagai wadah aliran lahar, termasuk aliran air yang meliputi kecamatan Pronojiwo, Candipuro dan Pasirian. Pertanyaannya, apakah debit air, yang di dalamnya terdapat lahar atau lumpur dan pasir, yang dalam jumlah sangat banyak bisa menyebabkan banjir bandang? Pertanyaan tersebut jika disikapi secara normatif tentu jawabannya adalah ‘iya’.
Jawaban tersebut coba kita sejajarkan dengan respon pemerintah kabupaten Lumajang beserta pihak-pihak strategis lainnya. Dalam upaya merespon banjir bandang mereka justru hanya fokus pada upaya penanggulangan. Pengadaan dapur darurat yang dirancang untuk melayani 2.000 manusia. Rencana membangun tanggul sebagai infrastruktur alternatif dalam mencegah banjir. Mitigasi bencana dengan edukasi tentang evakuasi. Mengeluarkan Surat Keputusan (SK) tentang Status Tanggap Darurat Bencana Hidrometeorologi, dsb. Beberapa respon tersebut menandakan jika respon yang dikeluarkan tidak reflektif atau bahkan kritis, semua respon yang dikeluarkan berdiri di atas paradigma normatif. Karena paradigmanya normatif, maka alam (hujan, air, lahar, lumpur atau pasir) yang disalahkan dan harus segera diatasi. Karena paradigmanya normatif, maka manusia yang terdampak banjir bandang diposisikan sebagai objek yang harus dikasihani, ditolong, kemudian dipolitisasi bahkan dieksploitasi. Situasi semacam itu harus diwaspadai dengan cermat dan sungguh-sungguh.
Kenapa kita selalu bersikap normatif terhadap banyak hal, termasuk banjir bandang yang terjadi? Bukan kah sikap normatif itu mengandung banyak sekali hal implisit yang bersifat subjektif? Jika anda terganggu dengan pertanyaan ini dan mulai ingin mengatakan jika sikap normatif itu tidak kritis-transformatif, maka anda perlahan harus menerapkan sikap curiga dan waspada. Curiga terhadap apakah memang alam lah yang memicu banjir bandang ini terjadi? Dan waspada terhadap sikap dan perilaku kita sendiri kepada alam, apakah sudah sesuai, atau setengah sesuai, atau jangan-jangan sama sekali tidak sesuai? Mari sejenak kita lihat apa itu sikap dan perilaku yang sesuai kepada alam menurut salah satu pandangan ekologi, yakni Ekologi Sosial.
Ekologi Sosial Menyoroti Banjir Bandang
Murray Bookchin adalah orang yang paling bertanggung jawab atas lahirnya konsep Ekologi Sosial. Konsep ekologi yang ia rumuskan berbunyi bahwa manusia merupakan produk dari evolusi alam. Sederhananya, dalam domain biologi dikatakan jika manusia berasal dari pembuahan sperma dan ovum, domain agama mengatakan jika manusia berasal dari tanah dan dihuni oleh ruh yang menjadikan ‘tanah’ tadi hidup. Tapi coba bayangkan dari apa dan dari mana sperma atau ovum bisa ada dan terbentuk? Bayangkan ‘tanah’ yang sebenarnya dimaksud itu apa dan dari mana? Apalagi, di dalam Islam terdapat narasi penciptaan yang menunjukkan jika manusia diciptakan paling akhir. Sudah kah kita semua duduk diam dan berfikir eksistensi kita, manusia, dengan menghadirkan berbagai macam pendefinisian tentang manusia di atas? Jika sudah, agaknya konsep milik Bookchin bagi penulis merupakan intisari dari itu semua; benar, kita manusia adalah produk dari evolusi alam. Logika moril paling sederhana, jika manusia merupakan produk dari alam, baik atau buruk jika manusia mencelekai alam?
Aktivitas mencelekai alam yang dilakukan oleh manusia lebih populer disebut sebagai eksploitasi alam. Kata eskploitasi ini konotatif; mencelakai, merusak hingga membunuh. Selain itu kata ini bersifat dominatif. Eksploitasi manusia terhadap alam diawali oleh pendominasian manusia kepada manusia lain, baru setelah itu menyasar alam untuk dieksploitasi, Bookchin menebalkan kalimat ini dalam bangunan konsepnya. Kita refleksi sejenak, apakah pendominasian terhadap manusia terjadi di Lumajang? Apakah pengeksploitasian terhadap alam terjadi di Lumajang? Siapa pun pasti akan bisa menjawabnya dengan cepat dan lantang. Kenapa penulis begitu yakin? Coba kita ingat dengan saksama peristiwa Salim Kancil. Di dalam kasus tersebut, dua pertanyaan di atas sangat mampu dijawab dengan kata ‘iya’. Dominasi sekelompok orang yang ‘kawin’ dengan korporasi melahirkan pengondisian tambang pasir ilegal.
Siapa yang didominasi dari peristiwa di atas? Jelas masyarakat biasa yang bertani. Siapa yang terdampak? Jelas masyarakat biasa yang bertani. Lahan pertanian mereka rusak akibat abrasi yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan. Apakah alam dicelakai oleh manusia? Jelas. Lahan pertanian rusak akibat tergenang air laut, petani gagal panen, sawahnya kebanjiran. Apakah luapan air laut yang menggenangi persawahan tersebut salah? Jelas tidak. Air laut tidak mungkin akan naik jika pasir di bibir pantai tidak dikeruk secara brutal. Ini adalah contoh logika paling sederhana dari tesis Ekologi Sosil Bookchin, Dominasi Manusia Atas Alam Berasal Dari Dominasi Manusia Atas Manusia.
Mari kita lebih fokus pada persoalan banjir bandang. Apakah tesis Bookchin di atas relevan untuk memahami banjir bandang yang terjadi? Penulis akan menunjukkan fakta literer sebagai pengantar. Pada tahun 2021 terjadi banjir dari luapan sungai Leprak di salah satu desa di Candipuro yang diakibatkan oleh human error dari pihak perusahaan tambang pasir. Kemudian ada tiga orang yang menolak aktivitas tambang tersebut dengan upaya dialog, mirisnya mereka justru diintimidasi hingga diancam dibunuh. Mendapat ancaman semacam itu, tiga orang tadi berjalan kaki dari Lumajang ke Jakarta dengan tujuan ingin mengadu ke Komnas HAM. Apakah tesis Bookchin relevan dengan dengan peristiwa tersebut? Mari kita pindah ke fakta literer lainnya. Tahun 2022, tanggul penahan banjir yang dirancang oleh pemerintah jebol akibat diterjang banjir. Bukan hanya karena diterjang banjir, tanggul yang terbilang baru tersebut jebol akibat aktivitas penambangan pasir yang terlalu dekat dengan bangunan tanggul. Belajar dari peristiwa sebelum-sebelumnya, pada tahun 2023, Polisi Sektor (Polsek) Pasirian memperingatkan dengan keras jika aktivitas tambang pasir dilarang di sungai Regoyo. Peringatan tersebut didasarkan pada pengalaman tentang banjir-banjir sebelumnya. Masih kah tesis Bookchin relevan untuk digunakan sebagai sarana teoritis dalam memahami banjir yang terjadi di tahun ini? Banjir bandang lebih tepatnya, karena banjir yang terjadi di tahun ini lebih ngeri dari yang sebelumnya.
Kengerian banjir bandang yang terjadi kali ini dapat dilihat dari dampaknya. Berdasarkan detikjatim sebanyak 495 Kartu Keluarga (KK) terdampak, enam jembatan mengalami kerusakan, lima hewan ternak mati dan satu tempat wisata Tirtosari mengalami kerusakan.. Kengerian banjir bandang juga menyebabkan tiga orang meninggal dunia; satu orang tertimbun longsor, sedangkan dua orang terbawa arus banjir. Kengerian lainnya diutarakan oleh salah satu warga Pasirian, banjir yang sekarang ini lebih besar dibanding dengan banjir-banjir sebelumnya, aku ndak tau ini karena kita sendiri atau sudah takdirnya Tuhan. Bayangkan, Tuhan diseret-seret dalam persoalan ini. Padahal jika berkaca pada peristiwa-peristiwa sebelumnya, jelas Tuhan tidak terlibat sama sekali dalam persoalan ini. Tidak bermaksud meniadakan Tuhan dan perannya, tapi ini persoalan perilaku manusia yang tidak sesuai kepada alam. Eksistensi manusia sebagai spesis itu tidak hanya salah, tapi sebenarnya justru berbahaya, terutama bagi alam, tulis Bima S.P; penerjemah karya-karya Bookchin. Alam hanya menjalankan skenario yang diciptakan oleh manusia. Penulis menyebutnya sebagai Skenario Kehancuran Kontemporer.
Skenario Kehancuran Kontemporer sudah diketahui oleh banyak orang. Layar tancap tempat adegan dipertontonkan sudah tersebar. Lilin dan dupa sudah didistribusikan secara massal. Para orang tua sudah membongkar mitos, anak-anak muda perlahan mulai mendirikan bilik-bilik dialog yang berdiri di sisi kiri jalan. Setiap hari adalah Asyura, setiap tempat adalah Karbala. Tulisan ini akan menjadi ‘bola salju’ yang menampik untuk berhenti menggelinding...
0 Komentar